Minggu, 09 Mei 2010

Hidupku Kesaksianku

Yesaya 61:3-4
Apakah kita merasa sebagai orang Kristen?
Sudahkah orang-orang sekitar kita mengetahuinya?
Apa bukti kekristenan kita?



Dapatkah kita menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas? Atau kita hanya dapat menjawab 1, atau 2 saja? Atau, kita bingung bagaimana menjawabnya?
Kekristenan itu lebih dari sekedar memiliki KTP berstatus agama Kristen. Bukan sekedar memakai kalung salib ke manapun kita pergi. Bukan juga dengan setiap hari membaca Alkitab, bahkan menghapal semua ayat di Alkitab.

Saat ini dapat dikatakan kekristenan telah kehilangan jati dirinya. Mengapa dapat dikatakan demikian? Coba saja kita lihat, di dunia public figure kita, misalnya saja artis-artis. Perceraian, kasus hamil di luar nikah, narkoba, kerap mewarnai dunia artis. Yang tak dapat disangkal, beberapa dari mereka berstatus Kristen. Di gereja, majelis jemaat terlibat korupsi,bahkan menurut kisah dari pembicara kita, Mas Lukas, ada seseorang yang tidak mau pergi ke gereja, karena dia mengenali majelis jemaat di gereja itu,yang ternyata sering bermain judi bersama-sama. Bagaimana orang tersebut dapat percaya, bila kita sendiri tidaklah memberikan kesaksian melalui hidup kita?

Penyebabnya adalah, gereja yang sekarang telah mapan, kehilangan hakikat penyelamatan. Sekarang ini keselamatan itu seolah-olah bagaikan ‘tiket’ menuju ke Surga yang berarti kekekalan dan kebahagiaan. Padahal, akibat tiket itu, kita pindah dari ‘warga kerajaan dunia’ ke ‘warga kerajaan Allah’. Itu berarti, tugas kita semakin besar, karena bukan hanya perubahan status yang terjadi, tapi juga membawa konsekuensi pada hidup kita.


Matius 5:13-16
Allah menyatakan, kita adalah ‘garam’ dan ‘terang’, bukan memerintahkan kita agar menjadi ‘garam’ dan ‘terang’. Secara ‘default’, jati diri sebagai ‘garam’ dan ‘terang’ sudah tertanam dalam diri kita. Jati diri kita yang sejati, yang merupakan anugerah Allah, bukan usaha manusia, tidaklah pantas diwarnai dengan kesombongan, apalagi kita main-main dan menyia-nyiakannya. Kita dipanggil untuk berbeda dengan dunia. Bila kita merasa nyaman dengan apa yang ada dalam diri kita sekarang, mungkin kita telah menjadi sama dengan ‘dunia’.

Garam : pengawet, mencegah kebusukan, sebagai bumbu
Terang : menelanjangi kegelapan, menunjukkan jalan

Yesus mengajarkan kita, Dia bukan hanya berkotbah, namun juga menyembuhkan dan memberi mujizat, membalikkan pikiran orang farisi yang salah. Yesus telah memiliki peran tersendiri di dunia. Sebagai pengikutNya, kita pun harus menyangkal diri dan mengikut Dia.
Maksudnya, Yesus tidak hanya menyebarkan teori-teori dan menegur yang salah saja, tapi Dia mempraktekkannya pada orang banyak agar berdampak dan menunjukkan kebenaran yang sejati.
Dalam contoh garam dan terang ini, kita bukan hanya mengawetkan, mencegah kebusukan dan menelanjangi kegelapan yang dapat diartikan menegur kesalahan. Kita pun dituntut sebagai bumbu dan petunjuk jalan yang berarti memberikan petunjuk kualitas hidup sejati sesuai dengan yang Allah inginkan yaitu melakukan kebenaran.

Coba kita evaluasi diri, apakah hidup kita sehari-hari telah mencerminkan kehidupan Kristen yang sesungguhnya? Sudahkan kita mencerminkan gambaran Allah dan memberikan kesaksian melalui hidup kita?
Bila tidak, sama saja kita seperti menjadi garam yang tidak lagi asin dan terang yang meredup, hampir mati. Tidak ada gunanya lagi, hidup kita seakan sia-sia. Bahkan mungkin kekristenan kita adalah sesuatu yang diragukan.


Bila daging busuk, jangan salahkan dagingya, tapi mana garamnya?
Bila ruang gelap, jangan salahkan ruangya, tapi mana terangnya?
Bila dunia rusak, jangan salahkan dunianya, tapi mana orang kristennya?
Apakah kita telah menjadi pohon Tarbantin Kebenaran Allah?