Selasa, 09 Desember 2008

The Real Watcher

Pernah suatu ketika, yayasan SMA saya dulu mengadakan suatu acara pertunjukan seni besar-besaran dan saya ditunjuk untuk melakukan atraksi bersama kelompok dalam acara tersebut. Acara itu bertempat di Sabuga, balairung ITB dengan kapasitas penonton lebih dari 1000 orang–dengan kata lain ini pertunjukan besar saya yang pertama dan terakhir di SMA–and I promise to do my best walaupun durasi pertunjukan sebenarnya yang akan saya tampilkan paling-paling hanya 1 menitan. Karena acara berlangsung selama 2 hari dengan tiga kali pertunjukan, maka saya terus berlatih dan berlatih keras untuk menampilkan gerakan sesempurna mungkin (paling tidak enggak malu-maluin di atas panggung, deh).


Ketika pertunjukan pertama selesai dan saya telah memberikan sebagus yang saya bisa pada waktu itu, saya menanyakan komentar teman yang menonton. Dan yang paling membuat saya shock adalah bahwa dia sama sekali tidak tahu saya di mana menampilkan apa dan mengapa saya di sana (karena sebenarnya anak kelas 3 SMA tidak boleh ikut karena harus fokus pada ujian). Jadi selain buat menambah jumlah pemain dalam atraksi, buat apa saya perform gila-gilaan di atas panggung sana–karena saya sama sekali tak dilihat? Lain halnya kalau saya perform solo, mungkin semua mata akan memandang pada saya, tapi...dalam kelompok yang perform kurang dari 1 menit? I don't think so. Lagipula enggak ada yang nyadar atraksi apa yang saya lakukan kecuali bagi orang-orang yang mengerti benar saya sedang melakukan apa.


Pertunjukan kedua berlangsung mengerikan. Mental saya sudah down dan mulai berpikir "Ah, kalau nggak ada yang nyadar sih kesalahan kecil-kecilan enggak apa lah!" Betul. Saya sendiri merasa apa yang saya lakukan di atas panggung pada sesi kedua benar-benar asal-asalan. Saya melakukan banyak kesalahan (tempo salah, gerakan akhir salah–walau memang enggak ada yang nyadar kecuali diri sendiri). Ketika sesi kedua usai, saya ditanya oleh rekan kelompok kenapa saya yang SMA kelas 3 mau-maunya ikut pertunjukan padahal teman-teman saya yang lain sedang enak-enaknya libur? Saya tertegun. "Oh iya, ya? Bodoh banget nggak pernah tanya… sebenarnya BUAT APA saya di sini? Saya bisa enak-enakan tidur di rumah daripada latihan melulu dan menguras tenaga, waktu!"

Tapi, saya mendapatkan jawabannya waktu giliran kelompok kami untuk tampil pada sesi terakhir. Rekan senior saya memberikan semangat kalau ini adalah pertunjukan terakhir dan kita harus melakukan yang paling baik untuk yang terakhir! Pelatih menyuruhku untuk berdoa bersama demi suksesnya penampilan terakhir kami. Pertama saya bingung karena biasanya yang berdoa adalah para senior. Tapi saya mengangguk menyetujuinya. “...dan Tuhan, berkati kami di atas panggung, supaya apa yang telah kami latih selama ini tidak sia-sia… dan segala kemuliaan adalah untuk-Mu saja! Amin!”


Ya. Itulah jawaban yang saya dapatkan pada detik-detik sebelum pertunjukan terakhir saya di SMA. Untuk apa saya ada di sana? Untuk Tuhan! Bukan untuk dilihat manusia. Orang bisa tidak sadar kalau saya ada di hadapan mereka–di panggung–tapi saya tahu ada Pribadi yang selalu memperhatikan saya setiap kali saya berdiri di hadapan-Nya. Ialah yang melihat saya dari awal sampai akhir, dari tiap gerakan yang saya buat, dari apa yang telah saya persiapkan, latih, dan berikan–semuanya! Dan untuk satu Penonton yang seperti itu, masa saya tidak melakukan yang paling baik?


Saya tidak peduli penonton mau berkomentar apa, tapi yang penting, ketika pertunjukan usai dan saya telah melakukan yang terbaik, saya akan melihat Seseorang di bangku penonton melakukan standing applause dengan wajah penuh senyum, untuk saya.


Apa yang didapat dari cerita ini? Perhatikan bahwa Ia melihat apa-apa yang kita kerjakan, baik yang sederhana, tidak penting, penting, atau amat penting. Ia melihat kita ketika kita berlatih, bermalas-malasan, atau asal-asalan. Ia tidak melihat hanya ketika kita melayani-Nya di gereja. Ia pun melihat perjuangan kita ketika kita menyiapkan bahan untuk dikhotbahkan, menyiapkan lagu-lagu yang akan dinyanyikan, senyum ketika kita menyalami orang yang hendak masuk ke ruang kebaktian, melakukan kolektan, bahkan di luar pelayanan gereja seperti belajar sebelum ujian dan ketika mengisi lembar jawab ujian. Ia melihat. Ia memperhatikan. Jadi, apa yang akan kita tampilkan? Yang terburuk? Yang terbaik?


Saya percaya kalau kita telah menampilkan yang terbaik dari diri kita untuk-Nya, maka Ia akan melakukan standing applause dengan wajah berseri-seri untuk kita! God smiles for us. (vin)

Tidak ada komentar: