Kamis, 18 Maret 2010

Sejarah Bangsa dan Kristen Garam

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah bangsanya. Kata-kata ini pernah menegurku. Aku mengaku kepada seorang sahabat kalau aku sudah lupa sejarah. Pantas saja bangsaku, Indonesia, tidak menjadi bangsa yang besar. Rupa-rupanya orang-orang seperti aku-lah yang memenuhi sebagian besar nusantara ini.

Pikiranku mulai menelusuri ulang ke masa-masa ketika aku harus mempelajari sejarah yang hanya mengedepankan apa peristiwanya apa, kapan terjadinya, siapa saja yang terlibat, dan lain-lain. Kesemuanya kuanggap sebagai hapalan dan pengetahuan umum biasa. Tidak lebih. Pemikiran akan detail-detail yang cenderung bersifat hafalan telah memenuhi ruang-ruang sel otak dan menyebabkannya penuh. Tidak ada lagi ruang untuk pembelajaran dan teladan sejarah.

Pembelajaran berarti memetik nilai-nilai dari suatu hal untuk menjadi modal baginya dalam menghadapi hal lain di depan. Tujuannya tidak mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Dahulu bangsa kita dijajah karena kebodohan. Sekarang sistem pendidikan masih jauh dari baik. Di manakah pembelajaran itu? Dahulu bangsa kita dikenal sebagai bangsa pemalas. Sekarang makin parah dengan lahirnya generasi serba instan yang lebih suka jadi pengikut tren dibanding pencetus tren. Pembelajaran tampaknya telah menjadi hal yang terlupakan.

Begitu juga tokoh-tokoh pejuang nasional terlupakan. Teladan mereka masih kalah pamor dibanding artis-artis yang tidak punya pengaruh baik. Siapa orang yang tidak kenal dengan Peter Pan? Tetapi, jika orang yang sama ditanyakan apakah dia mengenal Robert Wolter Monginsidi, atau John Lie tampaknya dia akan berpikir sangat lama untuk menjawab. Teladan perjuangan para pejuang seyogyanya tidak dianggap sepele. Kita malah seharusnya merasa malu kepada mereka yang telah berbuat banyak untuk bangsa dan negaranya. Alih-alih berbuat, peduli saja kita tidak. Sungguh menyedihkan. Bagi sebagian besar orang, sikap peduli terhadap bangsa menjadi bagian terpisah dari kehidupan. Orang-orang seperti ini tidak sadar tanah siapa yang dipijaknya dan air siapa yang diminumnya. Dan jika itu pun tidak disadarinya, bagaimana pula ia sadar langit siapa yang harusnya dijunjungnya?

Orang Kristen, secara tidak langsung juga membangun tembok terhadap kebangsaan. Kecintaan akan Tuhan sebaiknya juga berbuahkan kecintaan akan bangsa dan negara. Bukan sebaliknya, hanya sibuk dengan urusannya sendiri, gerejanya sendiri, pelayanannya sendiri, seolah-olah menjadi hal yang terpisahkan. Bukan demikian kehendak Tuhan bagi kaum Kristen Indonesia yang seharusnya menjadi garam dunia.

Belum lama ini aku mengenal istilah Kristen gincu. Istilah ini digunakan seorang penulis untuk merujuk kepada kehadiran Kristen yang penuh gembar-gembor, seperti gincu yang bisa membuat segelas air berwarna merah, tapi tidak mengubah rasa. Kontrasnya adalah Kristen garam yang kehadirannya membawa nilai-nilai Kerajaan Allah secara nyata, mencegah pembusukan nilai‐nilai di masyarakat, tanpa perlu membawa label‐label Kristen. Hasilnya adalah nama Tuhan dikenal, dipermuliakan dan disembah melalui hidup yang seutuhnya diabdikan kepada Allah dan sesama.

Jikalau begitu adanya, sejarah bangsa ini bukan lagi hanya sekedar bercerita tentang suatu peristiwa, siapa yang terlibat dan lain-lainnya, namun lebih penekanan tentang pergerakan nyata dari sekelompok orang yang menamakan dan berlaku sebagai Kristen garam, Kristen Indonesia.

Tidak ada komentar: